Friday, April 27, 2012

Cara Menentukan Besarnya Sampel (Sample Size)
Statistika category

Semakin besar sampel yg diambil akan semakin representatif dari populasi dan hasil penelitian lbh dapat digeneralisasikan. Masalah besar sampel merupakan hal yg sulit utk dijawab sebab terkadang dipengaruhi oleh dana yg tersedia utk melakukan penelitian. Namun demikian hal yg penting utk diperhatikan adl terdapat alasan yg logis utk pemilihan teknik sampling serta besar sampel dilihat dari sudut metodologi Penelitian.

Dilihat dari substansi tujuan penarikan sampel yakni utk memperoleh representasi populasi yg tepat maka besar sampel yg akan diambil perlu mempertimbangkan karakteristik populasi serta kemampuan estimasi. Pertimbangan karakteristik populasi akan menentukan teknik pengambilan sampel ini dimaksudkan utk mengurangi atau menghilangkan bias sementara kemampuan estimasi berkaitan dgn presisi dalam mengestimasi populasi dari sampel serta bagaimana sampel dapat digeneralisasikan atas populasi upaya utk mencapai presisi yg lbh baik memerlukan penambahan sampel seberapa besar sampel serta penambahan akan tergantung pada variasi dalam kelompok tingkat kesalahan yg ditoleransi serta tingkat kepercayaan.

Menurut Pamela L. Alreck dan Robert B. Seetle dalam buku The Survey Research Handbook utk Populasi yg besar sampel minimum kira-kira 100 responden dan sampel maksimum adl 1000 responden atau 10% dgn kisaran angka minimum dan maksimum.

Secara lbh rinci Jack E. Fraenkel dan Norman E. Wallen menyatakan bahwa minimum sampel adl 100 utk studi deskriptif 50 utk studi korelasional 30 per kelompok utk studi kausal komparatif. L.R Gay dalam buku Educational Research menyatakan bahwa utk riset deskriptif besar sampel 10% dari populasi riset korelasi 30 subjek riset kausal komparatif 30 subjek per kelompok dan riset eksperimental 50 subjek per kelompok. Sementara itu Krejcie dan Morgan menyusun ukuran besar sampel dalam bentuk tabel sebagai berikut :



Besar Sampel menurut besar Populasi



Dari Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Sumanto 1995)

hampir 11 tahun lewat

11 tahun yang penuh makna sedih, menangis, senang, semua sudah ku alami di tempat ini... saatnya tinggal landas mencoba sesuatu yang baru.... semoga itu yang terbaik untuk kami sekeluarga

Thursday, November 24, 2011

katana turun mesin

skir klep
timing belt
tensioner
seal noken as
seal klep
packing intake
dkk
total....
lumayan......

Tuesday, August 30, 2011

masih puasa

ikuti pemerintah sebagai pemimpin kita....

Monday, August 29, 2011

Tuesday, July 5, 2011

Hukum Meminta Bantuan Kepada Jin Untuk Mengetahui Perkara-perkara Ghaib

Posted on Desember 1, 2010 by Sms/call: 6583315575 (Rofi - Singapura). Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id

Apa hukum Islam mengenai orang yang meminta bantuan kepada jin untuk mengetahui perkara-perkara ghaib? Apa hukum Islam tentang menghipnotis, yang dengannya kekuasaan peng-hipnotis untuk mempengaruhi orang yang dihipnotis menjadi kuat. Selanjutnya dia menguasainya dan membuatnya meninggalkan yang haram, menyembuhkan dari penyakit kejiwaan, atau melakukan pekerjaan yang diminta oleh penghipnotis? Apa pula hukum Islam tentang ucapan si polan: Bihaqqi fulan (dengan hak si fulan); apakah ini sumpah atau tidak? Berilah penjelasan kepada kami.

Jawaban:

Pertama, ilmu tentang perkara-perkara ghaib hanya dimiliki oleh Allah secara khusus. Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mengetahuinya, baik jin maupun selainnya, kecuali apa yang Allah wahyukan kepada siapa yang dikehendakiNya dari para malaikat atau rasul-rasulNya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65).

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman mengenai NabiNya, Sulaiman Alaihissalam, dan jin yang ditundukkanNya untuknya,

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersung-kur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang meng-hinakan.” (Saba’: 14).
Dia berfirman,

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27).

Diriwayatkan secara sah dari an-Nawwas bin Sam`an Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Jika Allah hendak mewahyukan suatu perkara Dia berfirman dengan wahyu, maka langit menjadi takut atau sangat gemetar karena takut kepada Allah r. Jika ahli langit mendengar hal itu, maka jatuh dan bersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah. Mula-mula yang mengangkat kepalanya adalah Jibril, lalu Allah berbicara kepadanya dari wahyuNya tentang apa yang dikehen-dakiNya. Kemudian Jibril melintasi para malaikat. Setiap kali melewati suatu langit, maka para malaikat langit tersebut ber-tanya, ‘Apa yang difirmankan oleh Tuhan kami, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Dia berfirman tentang kebenaran, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.’ Lalu mereka semua mengucapkan seperti yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu ke tempat yang diperintahkan Allah kepadanya.’”

Dalam ash-Shahih dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau bersabda,

“Jika Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seolah-olah rantai di atas batu besar. Ketika telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, maka mereka bertanya, ‘Apakah yang difirman oleh Tuhan kalian.’ Mereka menjawab kepada yang bertanya, ‘Dia berfirman tentang kebenaran dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.’ Lalu pencuri pembicaraan (setan) mendengarkannya. Pencuri pembicaraan demikian, sebagian di atas sebagian yang lain -Sufyan menyifatinya dengan telapak tangannya lalu membalikkannya dan memisahkan di antara jari-jarinya-. Ia mendengar pembicaraan lalu menyampaikannya kepada siapa yang di bawahnya, kemudian yang lainnya menyampai-kannya kepada siapa yang di bawahnya, hingga ia menyampaikannya pada lisan tukang sihir atau dukun. Kadangkala ia mendapat lemparan bola api sebelum menyampaikannya. Kadangkala ia menyampaikannya sebelum mengetahuinya, lalu ia berdusta bersamanya dengan seratus kedustaan. Lalu dikatakan, ‘Bukankah ia telah berkata kepada kami demikian dan demimkian, demikian dan demikian.’ Lalu ia mempercayai kata-kata yang didengarnya dari langit.”

Atas dasar ini maka tidak boleh meminta bantuan kepada jin dan makhluk-makhluk selainnya untuk mengetahui perkara-perkara ghaib, baik berdoa kepada mereka, mendekatkan diri kepada mereka, membuat kemenyan, maupun selainnya. Bahkan, itu adalah kesyirikan, karena ini sejenis ibadah. Padahal Allah telah memberi tahu kepada para hambaNya agar mengkhususkan peribadatan kepadaNya seraya mengikrarkan,

“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

Telah sah dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda kepada Ibnu Abbas,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika kamu meminta, maka memintalah kepada Allah dan jika kamu meminta pertolongan, maka memintalah pertolongan kepada Allah.”

Kedua, hipnotis adalah salah satu jenis perdukunan dengan mempergunakan jin sehingga penghipnotis memberi kuasa kepa-danya atas orang yang dihipnotisnya. Ia berbicara lewat lisannya dan mendapatkan kekuatan darinya untuk melakukan suatu pekerjaan lewat penguasaan terhadapnya, jika jin tersebut jujur bersama penghipnotis itu. Ia mentaatinya sebagai imbalan “pengabdian” penghipnotis kepadanya. Lalu jin itu menjadikan orang yang dihipnotis tersebut mentaati kemauan penghipnotis terhadap segala yang diperintahkannya berupa pekerjaan-pekerjaan atau informasi-informasi lewat bantuan jinnya, jika jin itu jujur ber-sama si penghipnotis. Atas dasar itu maka menggunakan hipnotis sebagai sarana untuk menunjukkan tempat pencuri, barang yang hilang, menyembuhkan penyakit, atau melakukan aktifitas lainnya lewat jalan penghipnotis adalah tidak boleh bahkan kesyirikan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan. Dan, karena itu berarti kembali kepada selain Allah, dalam perkara yang diluar sebab-sebab biasa yang disediakan Allah Subhannahu wa Ta’ala untuk para makhluk dan diperbolehkan untuk mereka.
Ketiga, ucapan seseorang: Bihaqqi fulan (demi/ dengan hak polan), mengandung makna sumpah. Maksudnya, aku bersumpah kepadamu demi polan. Ba’ di sini adalah Ba’ al-Qasam (kata yang mengandung arti sumpah). Bisa juga mengandung makna tawassul dan meminta bantuan kepada diri fulan atau kedu-dukannya. Jadi, Ba’ ini untuk Isti`anah (meminta bantuan). Pada kedua hal ini, ucapan ini tidak boleh.
Adapun yang pertama, bersumpah kepada makhluk oleh makhluk adalah tidak boleh. Bersumpah kepada makhluk sangat dilarang oleh Allah, bahkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menetapkan bahwa bersumpah kepada selain Allah adalah syirik. Beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa bersumpah kepada selain Allah, maka ia telah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim; ia menilainya sebagai hadits shahih).

Adapun yang kedua, karena para sahabat tidak ber-tawassul kepada diri Nabi a dan tidak pula kepada kedu-dukannya semasa hidupnya dan sesudah kematiannya. Padahal mereka itu manusia yang paling tahu tentang maqam dan kedudukan beliau di sisi Allah serta lebih tahu tentang syariat. Berbagai penderitaan telah mereka alami semasa hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan setelah kematiannya, namun mereka kembali kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Seandainya bertawassul dengan diri atau kedudukan beliau Shalallaahu alaihi wasalam itu disyariatkan, niscaya beliau telah mengajarkan hal itu kepada mereka; karena beliau tidak meninggalkan suatu perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan beliau memerintahkannya dan memberi petunjuk kepadanya. Dan, niscaya mereka mengamalkannya karena me-reka sangat antusias mengamalkan apa yang disyariatkan kepada mereka, terutama pada saat mengalami kesulitan. Tiadanya kete-tapan izin dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengenainya dan petunjuk kepadanya serta mereka tidak mengamalkannya adalah bukti bahwa itu tidak diperbolehkan.

Yang sah dari para sahabat , bahwa mereka bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kepada Tuhannya agar permohonan mereka dikabulkan semasa hidupnya, seperti dalam Istisqa’ (meminta hujan) dan selainnya. Tatkala beliau telah wafat, Umar Radhiallaahu anhu ketika keluar untuk Istisqa’ mengatakan,

“Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami lalu Engkau memberi hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Maka, mereka diberi hujan.

Maksudnya doa al-Abbas kepada Tuhannya serta permo-honannya kepadaNya, dan yang dimakud bukan bertawassul kepada kedudukan al-Abbas; karena kedudukan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam lebih besar dan lebih tinggi darinya. Kedudukan ini tetap berlaku untuknya sepeninggalnya sebagaimana semasa hidupnya. Sean-dainya tawassul tersebut yang dimaksudkan, niscaya mereka telah bertawassul dengan kedudukan Nabi a daripada bertawas-sul kepada al-Abbas. Tetapi, nyatanya, mereka tidak melakukannya. Kemudian, bertawassul kepada kedudukan para nabi dan semua orang shalih adalah salah satu sarana kesyirikan yang terdekat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta dan pengalaman. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang untuk menutup jalan tersebut dan melindungi tauhid. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, vol. 30, hal. 78-81, al-Lajnah ad-Da’imah.

http://ruqyah-online.blogspot.com/2007/12/hukum-meminta-bantuan-kepada-jin-untuk_18.html

Memagari Rumah

“Memagari Rumah” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Pak Ustadz, ane pernah dengar kalo ada rumah yang ‘dipageri’, jika ada orang yang mencuri di rumah tersebut, pencuri akan jalan keliling rumah tersebut, sampai yang punya rumah tahu lalu membebaskannya dan memberikan ongkos untuk mereka pulang. Apakah ini kerja jin juga, dan bolehkan kita ‘mempagari’ rumah kita seperti itu?

Atas penjelasannya ane ucapkan terima kasih.

Wass,Gathmir

Gathmir

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Cerita memagari rumah itu memang banyak kita dengar. Bukan dipagari dengan tembok atau pagar besi, melainkan dipagari dengan sesuatu yang bersifat ghaib.

Dan kalau sudah bicara tentang hal-hal yang ghaib, kita mengenal dan mengakui keberadaan dua jenis kekuatan ghaib. Pertama, kekuatan ghaib yang dibenarkan syariah. Dan kedua, kekuatan ghaib yang diharamkan syariah.

1. Kekuatan Ghaib yang Benar

Kekuatan ghaib yang dibenarkan syariah punya ciri khas untuk mengenalinya. Yaitu dengan tidak pernah dimiliki sepenuhnya oleh seorang manusia, kecuali para nabi, khususnya nabi Sulaiman alaihissalam. Sebab hanya beliau saja yang diberikan kelebihan untuk menguasai para jin dan jenis makhluq ghaib lainnya.

Dan untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan segolongan syaitan-syaitan yang menyelam untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu.

Adapun para nabi lainnya, meski mereka diberikan fasilitas mukjizat dari Allah SWT, tetapi sifatnya bukan sebuah keterampilan yang dimiliki. Melainkan merupakan bentuk pertolongan Allah SWT yang hanya terjadi bila Allah SWT menghendakinya.

Maksudnya, para nabi alaihimussalam itu tidak punya remote control yang kapan pun diinginkan, bisa mendatangkan mukjizat. Tidak ada tongkat ajaib yang bisa dipakai kapan saja.

Ketika tongkat nabi Musa as. itu berubah jadi ular besar, tidak ada tombol yang bisa dipencet untuk menampilkan mukjizat itu. Yang terjadi hanyalah Allah SWT menurunkan wahyu dan memerintahkan kepada Nabi Musa as. untuk melemparkan tongkat itu, lalu atas perintah dan izin Allah SWT, tongkat itu tiba-tiba menjadi ular.

Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya.

Seandainya suatu ketika Nabi Musa as. iseng-iseng melemparkan tongkatnya, sekedar untuk melakukan demo atas mukjizat yang dimilikinya, pastilah tongkat itu tetap tidak berubah. Ini yang kami maksud bahwa ciri mukjizat itu bukanlah sesuatu yang dikuasai atau dimiliki, juga tdak dipelajari secara khusus.

Dan hal yang sama juga berlaku buat orang-orang beriman yang terkadang Allah SWT membantunya dengan karamah khusus. Kita mengakui adanya karamah yang Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Namun hamba-hamba itu tidak pernah merasa memiliki keajaiban dan sesuatu yang melanggar hukum fisika.

2. Kekuatan Ghaib yang Haram

Sedangkan kekuatan ghaib yang haram, dimiliki oleh syetan atau jin. Dan dalam rangka memperbanyak jumlah pengikutnya untuk masuk neraka, terkadang kekuatan ghaib itu ‘dipinjamkan’ kepada para penyihir dari kalangan manusia.

Tentu saja bentuk penyihir itu tidak selalu seperti yang ada di film-film, yang pakai jubah hitam, pegang tongkat dan selalu menyebut simsalabim atau alakazam atau abrakadabra.

Penyiihir itu bisa saja berkostum seorang pak haji, dengan sarung, kopiah, tasbih dan komat-kamit seolah membaca doa dalam bahasa arab. Padahal yang terjadi justru dia sedang meminta pertolongan kepada jin atau syetan. Orang seperti ini pada hakikatnya penyihir, meski kostumnya seperti kiyai. Sebab dia telah meminta bantuan jin dan makhluq ghaib, yang sejak wafatnya Nabi Sulaiman as telah diharamkan.

Inilah yang telah terjadi, bila penyihir itu berkostum umumnya penyihir, maka banyak orang-orang muslim yang antipati sebelumnya. Akan tetapi iblis itu bukan makhluq bodoh, dia punya 1001 akal busuk untuk melakukan tipu daya.

Maka dirancanglah sebuah rekayasa licik, di mana pelaku sihir itu adalah orang yang dianggap tokoh agama dengan segala atributnya. Sehingga banyak umat Islam yang terpedaya dan menganggap praktek memagari rumah seperti itu seolah dibenarkan dalam agama. Padahal hakikatnya adalah memagari rumah dengan penjagaan jin. Dan praktek ini sesungguhnya bagian dari syirik yang dilarang dalam syariah.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber Memagari Rumah : http://assunnah.or.id